Mengetahui Kisah Dibalik Puisi Karawang-Bekasi, Menuai Perdebetan Dengan Serdadu
Jakarta - Penyair Chairil Anwar kali pertama membacakan puisi itu di sebuah warung
kopi. Menuai perdebatan panjang dengan seorang serdadu Belanda.
Desember 1945, Letnan Kolonel Alex Evert Kawilarang ditugaskan Markas
Besar TKR di Jakarta untuk mengurusi pertukaran tawanan perang antara
pihak Indonesia dengan pihak Inggris. Salah satu tawanan yang ditukarkan
itu adalah Chairil Anwar, keponakan Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang
kelak namanya dikenal sebagai penyair besar.
Belum diketahui bagaimana Chairil bisa tertawan militer Inggris. Yang
jelas, usai dibebaskan Kawilarang di Stasiun Jatinegara, dia kemudian
aktif kembali bergabung dengan kawan-kawannya di Aliansi Pemuda
Indonesia (API).
Saat mengikuti kawan-kawannya hijrah ke Karawang pada
1947, Chairil menyaksikan langsung bagaimana militer Belanda menghabisi
orang-orang sebangsanya. Dia pun diam-diam marah dan terluka.
"Sepulang dari Karawang muncullah sajak Krawang-Bekasi,"demikian menurut Sjuman Djaya dalam bukunya yang berjudul Aku.
Krawang-Bekasi kali pertama dibacakan dalam obrolan malam antar penyair
dan peminat sastra di sebuah kedai yang terletak di Pasar Senen. Menurut
J.C. Princen dalam otobiografinya, Kemerdekaan Memilih, dia ingat saat
itu dirinya hadir dan ikut menyimak puisi tersebut.
"Sajak ini sangat bagus ..."ujar Princen.
Chairil cukup mengenal Princen. Dia tahu juga bahwa serdadu Belanda itu
diam-diam menyimpan simpati kepada perjuangan kemerdekaan kaum republik
sehingga bisa jadi dia berpikir anak muda Belanda itu merupakan 'sasaran
empuk' untuk menjadi obyek propaganda-nya.
Namun tidak hanya memuji, Princen juga mengkritik posisi Chairil Anwar
yang dia anggap 'tidak cukup bertanggungjawab' terhadap sikap
nasionalisme-nya. Dia mengejek Chairil hanya bisa "enak duduk-duduk di
rumah sambil menulis-nulis dan menyerahkan pada orang lain guna
menyelesaikan pekerjaan berat ini.
"Apa kalian memang hebat untuk tidak berkelahi?"tantang Princen.
Tentu saja, pernyataan nakal Princen itu disambut dengan geram oleh
Chairil dan kawan-kawan republik-nya. Mereka pun balik mengeritik sang
serdadu yang seolah sudah merasa cukup nyaman hanya dengan memiliki rasa
simpati terhadap perjuangan orang-orang republik.
"Kalau kau memang lebih tahu, apa yang kau kerjakan di sini sekarang?
Apa kau lebih baik dibandingkan orang Jepang atau orang Jerman?"jawab
Chairil dalam nada tajam.
"Bila aku tidak bisa berbuat lain lagi, maka aku akan aktif berada di
pihak kalian, karena aku pikir kalian ini yang benar,"ujar Princen.
"Apa ini berarti bahwa kamu akan menjadi musuh dari kawan-kawanmu, orang Belanda?"tanya Chairil lagi.
"Bukankah kalian semua adalah kawanku? Apakah seorang Belanda yang mati
lebih buruk dari seorang Indonesia yang mati?"jawab Princen.
Sontak semua terdiam. Pertumpahan air liur' antara Princen dengan
Chairil memang berakhir begitu saja. Semua menjadi biasa kembali dan
cepat larut dalam acara ngopi-ngopi dan merokok.
Yang jelas jauh setelah
'perdebatan di Pasar Senin' itu, pada 28 April 1949 Chairil Anwar
meninggal dalam usia 27 tahun. Dokter yang memeriksanya menyebut
komplikasi sebagai penyebab kematiannya.
Kala pemakamannya dilakukan, Princen sendiri saat itu sudah tidak di
Jakarta lagi. Memenuhi janjinya kepada Chairil dan kawan-kawan
senimannya di Pasar Senin, dia telah bergabung dengan pasukan Siliwangi,
ikut menyambung nyawa bersama orang-orang Indonesia di hutan-hutan
Sukabumi dan Cianjur.
Komentar
Posting Komentar