Kisah Akhir Dari Pertempuran Serdadu inggris Yang Hancur Lebur di Surabaya
Jakarta - Bendera putih banyak bermunculan dari pos-pos militer Inggris selama pertempuran tiga hari di Surabaya. Banyak di antara mereka yang menjadi korban amuk massa. Surabaya, 29 Oktober 1945. Pertempuran antara para pejuang Indonesia dengan unit-unit Brigade ke-49 British Indian Army (BIA) sudah berlangsung dua hari.
Alih-alih menguasai kota tersebut, posisi para serdadu Inggris malah semakin terjepit. Menurut sejarawan Frank Palmos, pasukan Inggris yang tersisa di tengah kota hanya segelintir dan tersudutkan.
Satu persatu, mereka disergap dan dibantai. "Mereka kehabisan logistik dan amunisi ..."ungkap Palmos dalam Surabaya 1945, Sakral Tanahku.
P.R.S. Mani salah seorang anggota militer Inggris yang terkepung di
Resort Liberty mengisahkan situasi horor tersebut dalam bukunya, The
Story of Indonesian Change 1945-1946. Selama pertempuran sengit
berlangsung, dia bersama kawan-kawannya dari Batalyon Rajputana Rifles
(5/6 Rajrif) hanya bisa bertahan di bagian paling puncak hotel tersebut.
"Kami hanya bersenjatakan 4 senapan bren, 20 senapan dan 10 gun,
sementara para pengepung kami bersenjatakan Military Gun, bren, revolver
otomatis, pistol, senapan, gunto (pedang jepang), tongkat dan bambu
runcing,"kenang Mani.
Begitu kedudukan mereka dihujani peluru dari berbagai sudut (termasuk
dari atas genting di gedung sebelah hotel), enam anggota Rajrif 5/6
langsung bertumbangan. Tak ada perawatan medis sama sekali karena
detasemen-detasemen Inggris lain pun sedang menghadapi
situasi yang sama.
Akhirnya, setelah dua jam bertahan, mereka memutuskan
untuk menyerah. "Mayor Finlay memimpin kami menuruni tangga sambil membawa bendera
putih. Kami lalu dibawa ke Penjara Kalisosok untuk ditahan sebagai
tawanan perang,"ujar Mani.
Nasib Mani dan kawan-kawannya bisa dikatakan lebih beruntung dibanding
para serdadu Inggris yang bertahan di Penjara Koblen. Sejatinya posisi
mereka sudah tak berdaya karena kekurangan logistik dan amunisi.
Namun posisi mereka masih dilindungi dinding penjara yang tinggi dan tebal. Pintu gerbang penjara yang hanya memiliki satu akses di bagian depan pun begitu kuat dipertahankan musuh dengan berbagai barikade. Massa rakyat yang sudah sangat marah akhirnya memanggil bantuan kendaraan lapis baja buatan Jepang untuk mendobrak pintu gerbang.
Begitu
pintu gerbang jebol, arus massa seolah tak bisa dibendung lagi menyerbu
para prajurit Inggris yang tengah bertahan di dalam gedung penjara. Terjadilah perkelahian jarak dekat yang tidak seimbang dan berakhir
dengan hancur leburnya kompi pasukan Inggris tersebut.
"Sebanyak 18 serdadu yang masih hidup digiring ke markas PTKR (Polisi
Tentara Keamanan Rakyat) yang tidak jauh dari situ. Mayoritas yang
ditahan berasal dari suku Sikh ..."ungkap Suhario Padmodiwiryo dalam
Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit.
Dalam perjalanan menuju markas PTKR, teror mengiringi para tawanan
perang itu. Teriakan mereka yang menakutkan bersanding dengan jerit
histeris para ibu yang anak-anaknya menjadi korban tembakan
serdadu-serdadu Inggris tersebut.
"Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh NICA, Bunuh Inggris bangsat!"teriak massa.
Situasi semakin kritis. Beberapa orang kemudian menarik para tawanan itu
dan langsung mencincang mereka dengan senjata-senjata tajam yang mereka
bawa. Sebagai komandan PTKR, Suhario coba menghentikan dengan
mengacungkan gunto-nya ke atas udara. Namun percuma.
Tiba-tiba seorang yang berbadan kecil maju ke arah Suhario, dan dengan
wajah merah dan suara serak meminta agar meminjamkan pedang. Tampak
senyuman sadis pada wajahnya. Tangannya memegang pedang berlumuran
darah.
"Pedang itu bengkok, mungkin karena kualitas bajanya yang rendah dan
tidak tahan untuk memotong tulang,"tutur lelaki yang lebih populer
dipanggil Hario Kecik itu.
Amukan massa berlangsung sangat mengerikan. Darah bertumpahan, bau
anyir-nya yang khas menyebar di udara. Saat menyaksikan para serdadu itu
binasa, orang-orang baru menghentikan aksi-nya. Tak ada yang bisa
dilakukan Hario Kecik kecuali memerintahkan massa untuk menguburkan
mayat-mayat yang sudah tak jelas wujudnya itu.
Tak tahan melihat kesadisan nan mengerikan itu berlangsung di depan
mata, seorang anggota PTKR bernama Suratmoko langsung jatuh pingsan.
Para anggota PTKR yang lain kemudian menyalakan api unggun yang besar di
atas kuburan 18 serdadu Inggris tersebut.
Dalam kepercayaan mereka itu harus dilakukan agar roh-roh para serdadu yang sebenarnya tak ingin cepat mati tersebut tidak gentayangan di malam-malam berikutnya.
Komentar
Posting Komentar