Kisah Ketika Suluh Indonesia Menulis Berita Yang Menyinggung Sukarno
Jakarta - Terkenal sebagai media professional Sukarno, namun tak selamanya Sulindo manut kepada Si Bung Besar. Presiden Sukarno dikenal sangat akrab dengan para wartawan.
Keakraban
itu diperlihatkannya dengan selalu mengadakan sarapan pagi khusus
bersama beberapa wartawan dari berbagai koran terkemuka. Satya Graha
dari Suluh Indonesia (Sulindo) adalah salah satunya.
"Saya ingat waktunya setiap hari Rabu pagi. Jam 7 kita harus sudah ada
di meja makan Istana,"ungkap lelaki kelahiran Blitar pada 5 Agustus
1931 itu.
Sekitar awal 1954, Satya seperti biasa mendapatkan undangan sarapan dari
Presiden Sukarno. Pagi betul dia sudah berada di gerbang Istana
Merdeka. Namun baru saja dia memasuki pintu, tiba-tiba seseorang
memanggilnya. Ternyata Kolonel Sugandhi, ajudan pribadi Sukarno.
"Hai, kau dari Sulindo kan?"tanya Sugandhi.
"Iya betul, Mas. Memang kenapa?"
"Apa yang kalian lakukan kepada, Bapak?!"tanyanya dalam nada geram.
Awalnya Satya hanya bengong saja. Namun setelah dijelaskan oleh
Sugandhi, barulah dia paham jika sang ajudan tidak terima dengan salah
satu tulisan yang ada di Sulindo beberapa hari sebelumnya.
Di tengah isu pernikahan diam-diam Sukarno dengan Hartini tengah
menghangat, Sulindo secara berani memuat artikel yang dikirim tokoh
pejuang perempuan S.K.Trimurti. Judulnya memang sangat menohok: 'Ketika
Bandot Tua Memakan Daun Muda'.
Tentu saja tulisan itu membuat Sukarno sempat tersinggung. Akibatnya
Satya sebagai bagian dari Sulindo dilarang untuk datang lagi ke Istana
Negara oleh Kolonel Sugandhi.
Namun tiga bulan kemudian, saat meliput kunjungan Presiden Sukarno ke
suatu acara di Jakarta, Satya tiba-tiba bersirobok dengan sang presiden.
Rupanya Sukarno masih mengenalnya.
"Hai, kau kan anaknya Tuti? (Sukarno mengenai Satya sebagai anak dari
teman kecilnya selama di Blitar),"ujar si Bung Besar sambil menepuk
bahunya.
"Betul, Pak,"jawab Satya.
"Kenapa tidak pernah datang lagi sarapan tiap Rabu pagi,"tanya Sukarno.
Satya lantas menceritakan apa yang terjadi. Sambil mendengarkan curhatan
Satya, Bung Karno mengangguk-anggukan kepalanya. Terlihat wajahnya
sedikit tidak senang.
"Nanti Bapak bicara sama Gandhi ya. Kau tetaplah datang setiap Rabu ke Istana,"ujar Sukarno. Sejak itulah, Satya kembali selalu hadir dalam kegiatan rutin hari Rabu di Istana.
Suatu hari di tahun 1964, Satya mendapat kabar jika ratusan eksemplar
Sulindo terbaru telah tercecer di sawah-sawah sepanjang jalur kereta api
ke wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Disebut-sebut itu adalah ulah
para aktivis Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) yang berafiliasi ke SOBSI
(organisasi buruh yang berafiliasi ke PKI).
"Ternyata itu dilakukan atas perintah orang-orang Harian Rakyat
(koran-nya PKI). Mereka mulai khawatir dengan tiras Sulindo yang semakin
membesar,"ujar Satya.
Tidak terima dengan cara 'kasar' orang-orang PKI tersebut, Satya lantas
mengontakpara pimpinan buruh kereta api yang berafiliasi dengan Kesatuan
Buruh Marhaen (KBM), organisasi buruh yang merupakan onderbouw PNI.
Dia
meminta agar para aktivis KBM "menahan" koran Harian Rakyat supaya
terlambat datang ke pelosok-pelosok tempat di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. "Dibandingkan aksi mereka sebelumnya, cara saya itu bisa dikatakan masih halus lho ..."kata Satya Graha.
Rupanya aksi balasan itu dilaporkan oleh orang SOBSI kepada Presiden
Sukarno. Pada suatu pagi, usai sarapan rutin bersama wartawan, Sukarno
memanggil Satya secara khusus. "Satya, kamu sekarang sudah mulai komunistophobia juga ya?"kata Bung Karno.
"Lho, maksudnya bagaimana, Pak?"
" Aku dengar kamu mulai menyusahkan Harian Rakyat ...".Mendengar jawaban Bung Karno tersebut, Satya langsung maklum: ia telah dilaporkan oleh orang-orang PKI. Tanpa ragu dia lantas menceritakan duduk persoalan pertamanya mengapa semua itu terjadi. Apa kata Bung Karno?
"Dia diam saja, tapi sepertinya paham dengan apa yang saya sampaikan,"ujar Satya.
Sulindo memang kerap memilih 'jalur keras' terkait dengan PKI. Saat ramai-ramainya terjadi penguasaan tanah-tanah negara yang disebut sebagai aksi sepihak yang dilakukan Barisan Tani Indonesia (BTI), Sulindo pun mengecamnya sebagai 'revolusi kebablasan'.
Akibatnya Sulindo kerap mendapat peringatan dari beberapa tokoh partai karena kekritisannya kepada PKI. Namun karena kedekatan dan kepercayaan Ali Satroamidjojo (ketua umum PNI hasil Kongres Purwokerto) kepada Satya Graha, lelaki yang pernah mengikuti kursus jurnalistik di Inggris tersebut memilih tetap jalan terus.
Anehnya sikap kritis itu pun tidak serta merta menjadikan Sulindo dan Satya mendapat tempat di kalangan kanan PNI. Alih-alih banjir dukungan, menurut Nazaruddin Sjamsuddin dalam PNI dan Perpolitikannya, Satya Graha malah diisukan oleh orang-orang sayap kanan PNI sebagai 'orang yang diselundupkan PKI ke tubuh PNI'.
"Ya memang, Pak Osa Maliki (tokoh sayap kanan PNI) pernah menjuluki saya sebagai 'kuda troya' kaum komunis,"kata Satya.
Komentar
Posting Komentar