Mengenal Tris Yuwono (Lie Sah Ju), Pahlawan Yang Bertugas Pada Operasi Dwikora Sepanjang Mudanya
Jakarta - Berperawakan tinggi tegap, Trisno Yuwono (77) merupakan veteran yang pernah berjuang untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.
Pria
keturunan Tionghoa yang bernama asli Lie Sah Ju itu rela menghabiskan
masa mudanya untuk bertugas pada operasi Drunk driving Komando Rakyat
(Dwikora), di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia. Tepatnya di Riau
sekitar tahun 1965.
Dia bertugas sebagai mata-mata atau telik sandi di perbatasan kepulauan
Riau. Tanggung jawab yang diemban Trisno adalah melaporkan atasannya
ketika melihat tentara sekutu melintas dengan kapal di perairan
Indonesia. Kemudian ia memberi kode kepada sekutu itu untuk tidak
mendekat.
Sebagai bekal persenjataannya, ia menenteng senapan mesin ringan dengan
peluru 0,9 milimeter yang dilengkapi dengan rentengan peluru tajam pada
pinggangnya. Selain itu ia dibekali oleh satuannya berupa gun.
"Pas konfrontasi Dwikora, saya diberi tugas memata-matai pergerakan
orang-orang yang dicurigai sebagai musuh," kata Trisno saat ditemui di
rumahnya, Jalan Wulawarman 5 Tembalang, Semarang.
Sebelum dikirim ke Riau, dia bersama ratusan relawan muda lainnya yang
tergabung dalam satuan Yon Subpur bantuan sukarela tempur Siaga 1
Diponegoro 1. Adapun Kodim 0733 BS/Semarang yang berada di bawah kendali
Kodam IV Diponegoro.
Mereka dikirim ke sebuah desa di Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen,
Jawa Tengah untuk menjalani serangkaian pendidikan militer gerilyawan.
Di tempat itu merupakan hutan dengan suasana gelap, para relawan
digembleng. Mentalnya dilatih agar tidak gentar saat menghadapi medan
pertempuran di perbatasan Indonesia. Adapun latihan itu yakni merayap
melewati pagar berduri. Kemudian dihadapkan rentetan peluru tajam yang
di kelilingi ranjau.
Dia pun menghadapinya dengan strategi merunduk bahkan sampai
berlindung di tanah pemakaman. Di latihan itu sebagai bentuk mental
ketika gerilya menghadapi lawan. Tidak jarang dia melihat banyak
rekannya jatuh bertumbangan selama pendidikan militer di Gombong.
"Bayangkan kalau tidak hati betul nyawa taruhannya. Karena kita hanya
bisa pasrah. Mau mati atau hidup tergantung takdir kita. Dari latihan
militer yang kita dapatkan di Gombong, kita bisa meneguhkan tekad untuk
membela Tanah Air.
Saya bisa menyelesaikan latihan militer, rasanya
sangat senang ikut andil membela negara. Habis latihan di Gombong, saya
langsung dikirim ke Riau,"jelasnya.
Banyak relawan muda gagal melanjutkan latihan karena tidak lolos
skrining kesehatan. Akhirnya satu bataliyon digabungkan dengan rombongan
dari Kudus dan Yogyakarta. Total 600 personel dikirim ke Riau tahun
1965 untuk mempersiapkan kebutuhan konfrontasi menjaga perbatasan
Indonesia-Malaysia.
Pertama kali tiba di Tanah Riau, dia mendapat antipati warga terhadap
kedatangan personel dari Jawa. Agar bisa dekat dengan masyarakat
akhirnya, ia berusaha membaur dengan warga. Semua personel disebar ke
desa-desa.
"Satu desa ada tujuh personel. Lama lama, mereka sadar jika saya jadi
bagian dari penduduk yang menjaga kedaulatan negara," kata Trisno.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Trisno mengonsumsi makanan olahan
ikan yang banyak dijumpai di rumah-rumah penduduk. "Setiap hari
makannya ikan. Soalnya warga Riau mayoritas nelayan,"ungkapnya.
Trisno lahir di Bojonegoro Jawa Timur pada 4 Agustus 1944, mengaku
bangga karena turut andil mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia.
Dia word play here satu-satunya warga keturunan Tionghoa Semarang yang
ikut dalam Konfrontasi Dwikora.
"Saya satu-satunya orang Tionghoa yang ikut jadi sukarelawan Dwikora di Riau. Di bawah satuan Kodim Semarang,"jelasnya.
Selepas tugas di Riau, ia kemudian dipulangkan ke Semarang dengan
menumpang sebuah kapal asing yang disewa oleh pemerintah Indonesia. "Pengalaman ikut pertempuran Dwikora di Riau itu benar-benar jadi pengalaman yang sulit dilupakan,"ujarnya.
Setelah selesai tugas menjadi relawan konfrontasi Dwikora tahun 1967
kembali ke rumah tinggal bersama istrinya di Semarang. Pemerintah
Indonesia memberikan penghargaan atas jasanya atas bergabung dalam
tentara Dwikora.
"Jadi kita diberi penghormatan sebagai professional pembela
kemerdekaan. Keluarga juga dapat dana penghormatan dan fasilitas
kesehatan,"ujarnya.
Memperingati HUT RI ke-76, Trisno meminta pemerintah memperhatikan nasib
para veteran yang masih hidup. Mereka berjuang rela mati demi
memperebutkan kemerdekaan.
"Kita ikut berjuang zaman dulu tidak pamrih, bahkan keikhlasan demi
merebut kemerdekaan. Hidup atau mati Indonesia sudah merdeka. Baiknya
pemerintah memperhatikan nasib para professional yang masih hidup pada
generasi sekarang," tutupnya.
Belajar Melukis dari Maestro
Pada tahun 1972, Trisno mempunyai ide untuk mengisi kemerdekaan dengan mengembangkan hobi seni rupa yang didapat dari sang genius pelukis yang jadi andalan Istana Negara semasa Presiden Soekarno, Dullah. Lebih dari 28 tahun berguru, karyanya banyak menginspirasi peristiwa keseharian atau realisme.Bahkan karya lukisan realisme yang dibuatnya itu menggambarkan gigihnya seorang rekan pejuang gerilya muda Jawa Tengah merebut senjata dari penjajah Belanda di Karanganyar tahun 1945.
Ketika itu rekan pejuang gerilyawan muda bernama Suharko mengendarai kusir kuda di tengah hutan. Di tengah perjalanan, langkah dia diketahui oleh dua tentara Belanda.
Bukannya menyerah justru dia mengendalikan kencang kudanya dengan menembakkan peluru ke arah tentara Belanda yang sedang jaga pada benteng pertahanan. Satu tentara Belanda tewas akibat terkena peluru, sedangkan badan rekan gerilyawan itu jatuh ke satu tentara Belanda.
Badan rekannya itu ditindih oleh tentara Belanda hingga tidak bisa melawan. Tak kehilangan akal, Suharko itu langsung mengambil belati yang di selipkan celana untuk melumpuhkan lawannya. Berhasil dilumpuhkan, ia bergerak mengambil senjata dalam gudang itu justru terkunci.
Sedangkan untuk bisa mendapatkan kunci dari tentara Belanda, rekannya itu terpaksa memutilasi pinggul badanya menjadi dua agar bisa mengambil senjata dari gudang.
"Itu ide cerita gerilyawan muda umur 15 tahun. Dia cerita saat persiapan pensiun dari Polri di Bali. Saya tertarik kisahnya, lalu saya kerjakan sketsanya pada awal pandemi Covid-19 2020. Dan akhirnya saya tuangkan karya lukisan,"kata Trisno.
Guratan lukisan itu dilakukan menggunakan carkul Areng, nilainya pun menggambarkan saat kejadian di lokasi. Ditanya terkait lukisan itu akan dijual, Trisno hanya bisa tersenyum namun, sebelum di jual lebih baik dipamerkan dalam komunitas seni lukis.
"Belum ada rencana dijual. Tapi kalau ada acara pameran oke lah ikut, suatu kebanggan pelaku seni jika karyanya dipamerkan,"jelasnya.
Tak hanya itu, Trisno Yuwono sebagai seniman juga sudah menghasilkan beberapa karya. Rumahnya yang dahulu masih belum banyak permukiman, sering mengamati aktivitas warga bercocok tanam hingga suasana warga menggendong hasil panen, dan suasana pasar tradisional di kala itu.
Lukisan tema bercocok tanam menunjukkan betapa kerasnya pekerjaan yang mereka lakukan untuk bertahan hidup. Adegan yang diambil spesifiknya memanen ketela pohon. Mereka tidak berhenti bekerja hingga matahari mulai tenggelam.
"Pesan itu mengangkat harkat derajat kaum petani sebagai fondasi dari kehidupan sosial yang langsung berhubungan dengan kebutuhan utama manusia, yaitu bahan makanan,"jelasnya.
Bahkan karya-karyanya itu diminati turis asing ketika mengikuti pameran beberapa even di Jawa Bali.
"Karya itu sudah dibeli turis asal Australia. Satu lukisan bisa mencapai harga Rp3,5 juta,"jelasnya.
Komentar
Posting Komentar